Oleh: Sri Endah Nurhidayati, Dosen Fisip Unair
Pariwisata merupakan industri yang banyak diminati baik negara maju maupun berkembang untuk meningkatkan pendapatan/devisa. Faktor pendorong seperti pesatnya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, berkembangnya teknologi transportasi, pertumbuhan pasar bebas, perkembangan teknologi produksi yang mampu memperpendek waktu kerja dan keterbukaan politik membuat manusia dengan mudah bepergian melintasi batas wilayah antar negara.
Industri pariwisata merupakan keterkaitan antara pariwisata, perjalanan, rekreasi dan waktu luang. Industri pariwisata merupakan salah satu kekuatan politik karena dampak yang diterima sangat luas menyangkut industri/usaha/bisnis, organisasi dan manusia. Ada beberapa alasan mengapa industri pariwisata dikembangkan banyak negara. Pertama, kebutuhan untuk berwisata sudah menjadi kebutuhan pokok manusia sehingga pasarnya sangat terbuka luas. Kedua, pariwisata merupakan industri yang relatif bebas limbah dan bersih. Ketiga, pariwisata memiliki dampak signifikan terhadap perluasan kesempatan kerja/usaha sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Keempat, pariwisata merupakan ajang pergaulan sosial budaya baik di tingkat nasional maupun internasional. Melalui pariwisata masyarakat bisa mengenal kehidupan di wilayah yang lain.
Pariwisata merupakan kegiatan yang bersifat kompleks dan terdiri dari banyak komponen yang saling terkait satu sama lain. Mengembangkan pariwisata harus melihat secara holistik aspek permintaan dan penawaran yang merupakan suatu sistem yang saling terkait
PARIWISATA SEBAGAI SISTEM
.
Menurut Mill dan Morison (1985:xix) pariwisata terkait erat dengan aktivitas perpindahan tempat yang merupakan sebuah sistem dimana bagian-bagian yang ada tidak berdiri sendiri melainkan saling terkait satu sama lain seperti jaring laba-laba (spider’s web). Sistem Pariwisata menurut Jordan (dalam Leiper, 2004:48) adalah tatanan komponen dalam industri pariwisata dimana masing-masing komponen saling berhubungan dan membentuk sesuatu yang bersifat menyeluruh. Sedangkan Bertalanffy (dalam Leiper, 2004:48) mendefinisikan sistem sebagai satu kesatuan elemen yang saling terkait satu sama lain didalamnya dan dengan lingkungannya. Hall (2000:44) menggambarkan secara umum sistem pariwisata mengandung 3 bagian penting yaitu (1) a set of element (entities), (2) the set of reletionships betwen the elements, (3) the set relationship between those element and environment. Bagian-bagian penting inilah yang akan menghasilkan suatu sistem yang saling terkait satu sama lain.
Ada beberapa model sistem pariwisata yang dikenal. Mill dan Morison (1985:2) mengembangkan sistem pariwisata model jaring laba-laba, dimana ada 4 subsistem yang terkandung di dalamnya yaitu pasar (market), perjalanan (travel), pemasaran (marketing) dan tujuan wisata (destination) dimana masing-masing komponen saling terkait satu sama lain. Pasar oleh Mill dan Morison dianalogkan dengan konsumen yaitu bagian yang berkaitan erat dengan kegiatan perjalanan karena konsumen/pasar adalah subyek atau pelaku perjalanan, dimana pasar sangat berperan dalam melakukan pembelian perjalanan. Keputusan untuk melakukan perjalanan/menjadi wisatawan atau tidak berkaitan erat dengan sistem segmentasi pasar yang merupakan sebuah sistem tersendiri.
Sub sistem pasar terdiri dari komponen-komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lain, yaitu perilaku konsumen berupa kebutuhan, keinginan dan motif yang dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.
Perjalanan adalah aktivitas yang akan dilakukan konsumen. Seorang individu memutuskan melakukan perjalanan karena 3 hal; (1) jika ia menganggap perjalanan yang dilakukan sebelumnya dapat memuaskan keinginannya;(2) menganggap perjalanan yang akan datang dapat memuaskan keinginannya; (3) ada faktor di luar dirinya/eksternal yang mempengaruhi apakah teman, keluarga, media, dan sebagainya. Kombinasi ketiga faktor itu yang akan menentukan perilaku individu dalam membeli produk perjalanan.(Mill and Morrison, 1985:9).
Perjalanan berkaitan erat dengan pasar (konsumen). Ketika seseorang memutuskan akan melakukan perjalanan ia pasti sudah menentukan tempat tujuan, kapan dan bagaimana cara mencapainya. Oleh karena itu Miil dan Morison menyebut perjalanan adalah segmen sistem pariwisata yang penting dan bertujuan mendistribusikan serta menganalisis pilihan-pilihan wisatawan. Dengan demikian bisa diketahui keecenderungan dari variasi segmentasi perjalanan. Atau dengan kata lain untuk mengetahui bentuk-bentuk permintaan perjalanan. Data arus wisatawan domestik maupun internasional merupakan langkah awal untuk mengetahui pergerakan wisatawan dalam melakukan perjalanan saat ini dan melakukan prediksi pergerakan wisatawan yang akan datang. Dengan data tersebut bisa diketahui trend dari perjalanan dan prospeknya dimasa datang. Bentuk perjalanan merupakan kombinasi dari siapa yang melakukan perjalanan, dimana, kapan dan bagaimana perjalanan dilakukan.
Perjalanan juga terkait erat dengan cara menuju (mode accessibility) apakah melalui jalan darat dengan kereta api, mobil, lewat udara (pesawat terbang) atau lewat laut (kapal, kapal pesiar), cara merencanakan perjalanan (mode desain travel), cara mengoperasikan perjalan (mode operation travel) dan cara memasarkan perjalanan (mode marketing travel). Obyek wisata atau tujuan wisata merupakan subsistem pariwisata berikutnya. Tujuan wisata terdiri dari atraksi wisata dan pelayanan dimana masing-masing bagian saling mempengaruhi untuk mewujudkan kepuasan wisatawan. Karena kepuasan konsumen akan mempengaruhi sistem penjualan perjalanan serta terkait erat dengan aspek pemasaran. Selanjutnya upaya untuk memasarkan obyek wisata dikemas dalam strategi pemasaran dengan mempertimbangkan pasar. Begitu seterusnya. Subsistem tujuan wisata memiliki tiga komponen komponen. Pertama, kondisi fisik destinasi yang terkait dengan iklim, keragaman atraksi baik yang alami maupun buatan. Ke dua, destinasi mix yaitu berupa komponen tipologi atraksi (scope, kepemilikan, permanensi, serta kekuatan yang nampak), fasilitas, infrastruktur, transportasi, dan hospitality. Ke tiga, desain dan pembangunan destinasi wisata (Mill and Morrison, 1985:xviii).
Spillane (1994: 63) menambahkan bahwa tujuan wisata juga harus memiliki lima unsur penting yaitu (1) attraction yaitu hal-hal yang menarik perhatian wisatawan, (2) fasilities yaitu fasilitas-fasilitas yang diperlukan, (3) infrastructure, (4) transportation atau jasa transportasi, dan (6) hospitality atau keramahtamahan/kesediaan untuk menerima tamu. Mengingat kompleksnya permasalahan pariwisata perlu dirumuskan perencanaan pembangunan yang memiliki kerangka kerja berdasarkan sistem mengingat masing-masing subsistem tidak berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi satu sama lain.
Berkaitan dengan itu, The Le Pelley and Law (dalam Hall, 2000: 51) membagi sistem pariwisata menjadi:
1. a series of input (tourist expectation, entrpreneurial activity, employ skills, inverstor capital, local authority planning, residents’ expectation and attitudes)
2. component of what was described the ‘Canterbury Destination System’ which included a series of primary (cathedral and historic city centre) and secondary element (hotels, catering, retailing, attractions, information service, parking and infrastucture), a long with external influences (transport development, competition tasted, legislation and currency exchangerats)
3. outcomes in terms of impact (economic, community, environtment and ecology) and stakholder outcomes.
Dari pandangan tersebut terlibat jelas bahwa sistem pariwisata memiliki sub-sistem-subsistem di dalamnya, dimana masing-masing-masing sub sistem memiliki komponen-komponen yang saling terkait di dalam maupun di luar, dimana masing-masing komponen juga merupakan sistem tersendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Leiper bahwa sistem pariwisata secara menyeluruh bisa bersifat open system dimana masing-masing komponen berinteraksi dengan bagian di dalam dan di luar (lingkungan).
Untuk mempertajam analisis mengenai sistem pariwisata, Prosser (dalam Mason, 2004:12) membagi sistem pariwisata dalam 4 subsistem yaitu pasar pariwisata, informasi, promosi dan petunjuk, lingkungan tujuan wisata dan transportasi dan komunikasi. Menurut Prosser pasar pariwisata terkait erat dengan karakteristik lokasi, pola-pola budaya, permintaan, kapasitas pengeluaran, dan musim.
Pasar wisata dalam melakukan aktifitas pariwisata memerlukan transportasi dan komunikasi, menuju tujuan wisata, menuju atraksi wisata serta dari dan ke atraksi wisata. Di tempat tujuan wisata akan berhubungan dengan sub sistem lingkungan tujuan wisata yang terdiri dari interaksi timbal balik atraksi dan pelayanan serta fasilitas wisata serta populasi dan budaya masyarakat yang didatangai (tuan rumah). Persepsi wisatawan terhadap lingkungan daerah tujuan wisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sub sistem informasi, promosi dan petunjuk. Sub-sistem ini berkaitan dengan pembentukan image dan persepsi wisatawan, promosi dan penjualan, tersedinya pramuwisata dan penunjuk jalan yang jelas, serta informasi dan publikasi.
Sejalan dengan model sistem pariwisata dari Prosser, Leiper mencoba menjelaskan sistem pariwisata secara menyeluruh (whole tourism system) dimulai dengan mendeskripsikan perjalanan seorang wisatawan. Dari hasil analisisnya ia mencatat 5 elemen sebagai subsistem dalam setiap sistem pariwisata yang menyeluruh, yaitu:
1. wisatawan (tourist) yang merupakan elemen manusia yaitu orang yang melakukan perjalanan wisata
2. daerah asal wisatawan (traveller-generating regions), merupakan elemen geografi yaitu tempat dimana wisatawan mengawali dan mengakhiri perjalanannya.
3. jalur pengangkutan (transit route) merupakan elemen geografi tempat dimana perjalanan wisata utama berlangsung.
4. daerah tujuan wisata (tourist destination region) sebagai element geografi yaitu tempat utama yang dikunjungi wisatawan .
5. industri pariwisata (tourist industry) sebagai elemen organisasi, yaitu kumpulan dari organisasi yang bergerak usaha pariwisata, bekerjasama dalam pemasaran pariwisata untuk menyediakan barang, jasa dan fasilitas pariwisata.
Menurut Soekadijo menyatakan jika model pariwisata merupakan mobilitas spasial yang terkait dengan aspek sosiologis, psikologis, ekonomis, ekologis dan sebagainya. Oleh karena itu pariwisata merupakan suatu gejala sosial yang sangat kompleks yang menyangkut manusia seutuhnya.Bagian yang terkait erat dengan sistem pariwisata sebagai mobilitas spasial terdiri dari dua subsistem yaitu wisatawan dan daerah tujuan wisata. Informasi tentang daerah tujuan wisata disampaikan kepada wisatawan melalaui pemasaran aktualisasi perjalanan. Untuk memutuskan apakah akan membeli perjalanan atau tidak wisatawan akan dipengaruhi oleh motif wisatanya dan seberapa menariknya obyek wisata. Semakin kuat motif dan kebutuhan wisata maka akan menjadi faktor pendorong (push factor) bagi wisatawan, sedangkan atraksi dan jasa wisata merupakan faktor penarik (pull factor). Sehingga hubungan faktor pendorong dan penarik merupakan komplementaritas atau saling melengkapi. Apabila memtuskan untuk melakukan perjalanan wisatawan akan melakukan mobilitas dengan memanfaatkan angkutan menuju ke obyek wisata.
Secara lebih spesifik Soekardijo memaparkan sistem pariwisata sebagai industri terdiri dari subsistem demand (permintaan) dan supply (penawaran). Produsen adalah bagian dari sistem pariwisata yang berkaitan dengan supply (penawaran) untuk menghasilkan produk-produk guna memenuhi permintaan konsumen (wisatawan) dan demand (permintaan) yang berkaitan dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan. Aspek penawaran wisata terkait erat dengan penyediaan atraksi wisata, angkutan serta jasa wisata lain. Aspek ini sangat ditentukan oleh permintaan terhadap produk wisata. Wisatawan datang karena digerakkan oleh motif perjalanan, sehingga permintaan wisatawan diantaranya adalah atraksi wisata yang komplementer dengan motif wisata, fasilitas lain yang berkaitan dengan kebutuhan selama melakukan perjalanan berupa jasa wisata seperti guide, fasilitas hotel, restoran, dsb. Kebutuhan yang lain adalah kondisi dan sarana transportasi untuk bergerak menuju obyek wisata. Kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan supply yang dihasilkan oleh produsen, serta merupakan kesatuan yang harus diperoleh wisatawan bersama-sama. Dengan demikian dikatakan bahwa produk wisata bersifat kompleks, produksi komponennya ditangani berbagai badan baik negeri maupun swasta, individu maupun kelompok.
Murphy (1985:10) menggambarkan sistem pariwisata sebagai keterkaitan faktor demand dan supply. Faktor demand terkait erat dengan pertama, motivasi (fisik, budaya, sosial dan fantasi); kedua, persepsi yang dipengaruhi pengalaman wisata sebelumnya, kesukan dan masukan yang diterima, dan ketiga, berkaitan dengan harapan konsumen
Sistem pariwisata menurut Hall (2000:51) terdiri dari 2 bagian besar yaitu supply dan demand, dimana masing-masing bagian merupakan subsistem yang saling berinteraksi erat satu sama lain. Sub sistem demand (permintaan) berkaitan dengan budaya wisatawan sebagai individu. Latar belakang pola perilaku wisatawan dipengaruhi oleh motivasi baik fisik, sosial, budaya, spiritual, fantasi dan pelarian serta didukung oleh informasi, pengalaman sebelumnya, dan kesukaan yang akan membentuk harapan dan image. Motivasi, informasi, pengalaman sebelumnya, kesukaan, harapan dan image wisatawan merupakan komponen dari subsistem permintaan sebagai bagian dari sistem pariwisata. Supply sebagai subsistem dari sistem pariwisata terdiri dari komponen seperti industri pariwisata yang berkembang, kebijakan pemerintah baik nasional, bagian, regional maupun lokal, aspek sosial budaya serta sumber daya alam, dimana masing-masing sub sistem dan sub-sub sistem sebenarnya juga merupakan sistem tersendiri yang berinteraksi ke dalam dan ke luar. Baik supply maupun demand akan mempengaruhi pengalaman yang terbentuk selama melakukan aktivitas wisata.
Blog ini berisi artikel, tulisan,materi ajar, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik kepariwisataan, sebagai bahan diskusi, pelengkap kuliah, referensi, dan lainnya. Semoga bermanfaat
Sabtu, 29 Oktober 2011
Jumat, 28 Oktober 2011
MENANTANG GLOBALISASI PANGAN LEWAT WISATA KULINER
Sesuai tradisi dari tahun ke tahun setiap tanggal 16 Oktober 2011 dunia memperingati Hari Pangan sedunia. Di Indonesia gebyarnya akan dipusatkan di Gorontalo 20-23 Oktober 2011 mengusung tema yang fantastis: Menjaga Stabilitas Harga Dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan. Setelah serangkaian acara seremonial, apakah juga akan lahir formula untuk peningkatkan ketahanan pangan salah satunya melalui wisata kuliner. Globalisasi makanan dapat menjadi fenomena yang bisa mengancam kestabilan makanan tradisional jika tidak diantisipasi secara bijak.
Makanan sebagai kekuatan global
John Selwood (1993) pernah menyatakan jika Food is one of the most important attractions sought out by tourists in their craving for new and unforgettable experiences. Makanan punya kekuatan besar untuk untuk menjadi attraksi wisata yang dapat ditawarkan kepada wisatawan mancanegara maupun nusantara. Makanan bisa menjadi petualangan baru yang diidamkan, berkesan dan tak terlupakan bagi wisatawan mancanegara yang baru merasakan sensasi makan tradisional. Sedangkan bagi wisatawan nusantara makanan tradisional daerah sendiri atau daerah lain menjadi sumber sensasi tersendiri dan memperkaya pengalaman lidah. Jika demikian, artinya Indonesia punya segudang potensi atraksi wisata yang bisa diangkat sebagai komuditas wisata. Salah satu yang telah mendunia dan menjadi masalah sensasional dengan Malaysia adalah Rendang. Makanan Indonesia lain yang sudah mulai diperkenalkan secara internasional antara lain darksoup alias rawon. Masih banyak kekayaan kuliner local yang layak diperkenalkan secara internasional seperti aneka soto daerah, aneka salad (rujak, gado-gado, keredok, asinan, semanggi, dsb), kue tradisional yang unik dan berbahan local (getuk, tape, cobro, serabi, dsb). Semua Cuma ada di Indonesia. Dalam dunia yang serba mengglobal sebenarnya potensi unik dan aksotis seperti ini yang membuat Indonesia justru menarik, tiada duanya. Karena itu bagus jika tiap daerah mulai menyusun database tentang aneke jenis menu tradisional (kue, minuman, makanan,dsb) yang akan menambah daftar panjang potensi menu local yang siap mengglobal, menjadi asset nasional. Sehingga kita tidak perlu pusing jika negera tetangga mau mengklaim makanan yang sudah lebih dikenal, kita masih punya stok yang banyak untuk mengimbangi.
Dalam hal mengglobalkan makanan tradisionalnya kita boleh belajar dari Jepang yang mamapu mendektekan selera makan di segala penjuru dunia. Bahkan menu makanan mentah (sushi) yang notabene bukan menjadi bagian budaya kita bisa diperkenalkan dengan cantik sehingga mampu merubah cara pandang terhadap makanan mentah yang semula dianggap kurang beradab menjadi lebih berkelas dan penuh gengsi.
Mengangkat Pamor Makanan Tradisional
Fenomena wisata kuliner saat ini mulai menjamur di masyarakat dan menjadi gaya hidup tersendiri. Sudah lumrah di berbagai daerah jika tempat makan penuh sesak saat weekend atau liburan. Masyarakat berlomba-lomba berburu menu makanan baru yang unik, enak dan menantang. Ada trend masyarakat mulai mencari menu-menu jadul yang sudah mulai jarang beredar di pasaran umum dan jarang bisa dinikmati. Lebih merakyat, eksotis, sehat, dan ramah di kantong dibanding makanan global impor yang kaya lemak, kurang sehat, mahal dan hanya memperkaya beberapa gelintir kapitalis. Trend kuliner seperti ini adalah fenomona yang positif jika dikaitkan dengan missi ketahan pangan. Perkembangan wisata kuliner khususnya menu local yang mayoritas menggunakan bahan makana local secara langsung ikut mensukseskan ketahan pangan. Semua pencinta wisata kuliner bisa berpartisipasi dengan nikmat, tanpa gerakan, tanpa gebyar tapi efektif hasilnya.
Agar tumbuhnya makanan local dapat sustainable bukan hanya tend sesaat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, makana local harus mengikuti standar yang digunakan makanan/menu impor yaitu higienis, standart bahan, penyajian. pengolahan dan rasa. Makanan tradisional bukan berarti kumuh, kotor dan tidak berkelas.
Agar sampai pada kondisi tersebut penting peran semua stakeholder untuk membantu produsen dan pengelola menu makanan tradisional belajar menyepakati ide standartisasi agar menu tradisional dapat naik kelas dan mampu bersanding dengan berbagai menu makanan/menu impor. Merubah mindset tentang pentingnya standartisasi makanan tradisional sama artinya dengan mencoba memposisikan makanan tradisional setara dengan makanan impor atau sama dengan mencoba mengglobalkan makanan tradisional.
Selain standartisasi juga perlu dilakukan promosi tiada akhir agar branding makanan tradisional juga kuat sebagai makanan yang bergengsi, layak masuk mall dan tempat bergengsi lainnya. Caranya dengan memasang kuota atau memberikan reward kepada mall/hotel/café/restoran atau tempat lain yang berusaha keras menyajikan menu tradisional. Di syarat perijinan hotel/restoran/café juga bisa diwajibkan menyajikan menu local untuk makan pagi atau welcome drink dengan minuman tradisional atau minuman yang menggunakan bahan local daerah. Untuk stakeholder yang bersungguh-sunggu mengkampayekan menu tradisional dapat diberikan reward berupa subsidi/potongan pajak.
Langganan:
Postingan (Atom)